Pentingnya
Peran dan Kreativitas Mahasiswa: Karena Indonesia Butuh Kamu
Ditulis oleh : Dara Intan Noersaif,
1206208132
Seperti
yang kita tahu 10 tahun lalu tepatnya pertengahan tahun 1997, Indonesia pernah
menghadapi krisis moneter yang berdampak pada taraf hidup rakyat Indonesia yang
merosot tajam. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berhenti dan laju inflasi
meningkat tak terkendali yang mengakibatkan jumlah penduduk miskin dan
pengangguran meningkat pesat. Bahkan pada tahun 2013 Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan angka penganguraan di Indonesia sudah menyentuh 7,39 juta jiwa,
angka ini menjadi bukti bahwa langkah reformasi ekonomi guna untuk memulihan
ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang diambil pemerintah pada tahun 1997-1999
dan pengambilan kebijakan baru terkait kesejahteraan rakyat berjalan sangat
amat lambat.
Krisis
moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah
berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni
lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan
meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya
disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat
oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah
kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim
kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran
hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda
banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya. Krisis moneter
ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang
cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan
Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat
pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus
meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih
terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah
masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat
beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku
dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak
efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan
kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri
dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak
meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan
terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga
IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian
nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang
tidak mampu dibendung oleh tembok penahan yang ada,yang selama bertahun-tahun
telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
Krisis
ekonomi yang pernah dialami Indonesia ini merupakan cermin nyata lemahnya
penyelenggaraan ekonomi nasional. Lemahnya sistem ekonomi Indonesia menimbulkan
berbagai kesenjangan sosial dan maraknya korupsi. Ditambah lagi kurang
meratanya pembangunan nasional yang menimbulkan kesenjangan pertumbuhan antara
perkotaan dan pedesaan. Kesenjangan ini juga terjadi antara bagian barat dan
timur Indonesia, permasalahan ini membuat gejolak sosial sangat mudah terjadi.
Terlalu banyak permasalahan yang terjadi di Indonesia juga merupakan salah satu
penyebab perekonomian Indonesia jalan ditempat. Sementara pada masa mendatang
pembangunan ekonomi Indonesia harus menghadapi persoalan baru yaitu
globalisasi.
Globalisasi
merupakan tantangan besar bagi kita semua, terutama bagi kita pemuda Indonesia.
Globalisasi menyadarkan bahwa kita adalah warga dunia secara keseluruhan
(Roberteson, 1992). Kata globalisasi berasal dari kata “global” dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, berarti secara keseluruhan. Globalisasi berarti suatu
proses yang mencangkup secara keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan
sehingga tidak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara nyata. Globalisasi
dalam arti literal adalah sebuah perubahan sosial berupa, berupa bertambahnya
keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemennya yang terjadi akibat
transkulturasi dan perkembangan teknologi dibidang ransportasi dan komunikasi
yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional. Menurut Anthony
Giddens, globalisasi merupakan satu kekuatan sosial dunia yang mempengaruhi
sektor kehidupan manusia dari aspek ekonomi sampai sektor pribadi. Sedangkan menurut Kamus Dewan
globalisasi didefinisikan sebagai fenomena yang menjadikan dunia mengecil dari
segi perhubungan manusia disebabkan kepantasan perkembangan teknologi maklumat.
Manakala orang barat mentakrifkan globalisasi sebagai satu proses kehidupan
yang serba luas dan infiniti merangkumi segala aspek kehidupan seperti politik,
sosial, dan ekonomi yang boleh dirasai oleh seluruh manusia dunia ini. Ini
bermakna segala-galanya menjadi milik bersama dalam konsep dunia tanpa
sempadan.
Apabila
ditelusuri lebih jauh, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia
mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 Masehi dan 1500 Masehi.
Pada saat itu para pedagang dari tiongkok dan india mulai menelusiri negeri
lain baik melalui jalan darat (seperti jalur sutera) maupun jalur laut untuk
berdagang. Di Indonesia globalisasi telah terjadi sejak abad ke
19, yaitu sejak adanya kontak dagang kerajaan-kerajaan di nusantara dengan para
pedagang Eropa yang berakhir pada penjajahan Indonesia di masa lampau.
Globalisasi
sebenarnya netral, tergantung kita menilainya baik positif maupun negatif.
Globalisasi dapat dinilai sebagai sesuatu yang positif karena membuka peluang
besar dalam bermain dipasar global. Namun globalisasi sendiri dapat menjadi
serangan balik umat manusia (Richard Branson, 2000), hal ini terjadi di banyak
negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut Wijianto (2005) pemikiran
mengenai baik-buruknya globalisasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu sebagian
besar negara dapat menerima dan mendukung dengan baik globalisasi, kelompok ini beranggapan bahwa
globalisasi merupakan jalan keluar untuk memperbaiki perekonomian dan
kesejahteraan rakyat di dunia ini. Sebagian
bersikap kritis dan menolak globalisasi, kelompok
ini beranggapan bahwa globalisasi dianggap sebagai bentuk penjajahan dari
negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dan miskin. Dengan adanya
globalisasi semakin meningkatkan kemiskinan dan ketidakadilan bagi masyarakat. Sebagian yang lain menerima globalisasi
sebagai sebuah keniscayaan akibat begitu kuatnya dampak buruk yang ditimbulkan
oleh globalisasi. Untuk
menghadapi globalisasi tidak hanya dibutuhkan teknologi, inovasi dan keterampilan
semata, karakter yang kuat juga sangat dibutuhkan.
Indonesia
merupakan suatu negara dengan penduduk terbesar di dunia. Indonesia merupakan
negara aggraris dengan total penduduk 237,6 juta jiwa berdasarkan sensus
penduduk 2010 dengan pertumbuhan penduduk
rata – rata 1,98% per tahun tentu saja
hal ini menyebabkan tingkat konsumsi penduduk Indonesia cukup tinggi setiap
tahun. Indonesia menjadi negara ke-empat negara berpendudukan terbanyak
didunia. Karena alasan ini Indonesia menjadi pasar global yang banyak di incar
negara luar, sayangnya Indonesia sendiri belum siap menghadapi globalisasi.
Kurangnya sumber daya manusia (SDM), kurangnya infrastruktur dan bobroknya
sistem perekonomian nasional Indonesia merupakan faktor utama yang membuat
Indonesia tidak siap menghadapi globalisasi.
Untuk
menghadapi globalisasi Indonesia harus menjalankan beberapa kebijakan, antara
lain peningkatan SDM, pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, membuka
jalur perdagangan dunia melalui kebijakan peningkatan investasi dan ekspor,
pengembangan akses permodalan dan tentu
saja keseimbangan
dengan alam. Namun yang harusnya menjadi perhatian utama adalah peningkatan
SDM, menurut kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) SDM yang mampu
menghadapi pasar global di Indonesia hanya sekitar 30%. Berdasarkan hasil
survey pertumbuhan daya saing Asia oleh World Economic Forum (WEF) peringkat
Indonesia terus menurun. Sementara dari hasil pemeringkatan Standard and Poor
yang mengindikasikan kemudahan berbisnis, Indonesia hanya menempati peringkat
131 dari 175 negara. Hasil ini
tentunya sangat berbanding terbalik untuk memenuhi persiapan Indonesia dalam
menghadapi kompetensi global.
Solusinya,
Indonesia harus mengubah paradigma pola berpikir lagi dari pemerintah sebagai poros
ekonomi ke pola baru yaitu pemberdayaan
masyarakat sebagai poros ekonomi. Pemberdayaan disini berarti membuat
masyarakat mengambil andil dalam pembangunan nasional, masyarakat menjadi lebih
produktif dan inovatif untuk memenuhi permintaan pasar global. Dengan adanya
kebijakan baru masyarakat jadi bisa berkontribusi lagsung dan juga memiliki
kesadaran lebih akan pentingnya peran masyarakat. Dengan sistem yang baru
diharapkan permasalahan korupsi di
Indonesia
akan ditekan habis karena perekonomian tidak lagi bergantung pada pemerintah,
tetapi langsung pada masyarakat.
Untuk
menerapkan sistem baru ini Indonesia butuh masyarakat yang berkompeten dan
mampu bersaing di global. Untuk mencapai masyarakat yang berkompeten, harus
dilakukan peningkatan SDM dengan cara membentuk karakter masyarakat.
Pembentukan karakter dapat dimulai pada mahasiswa. Mengapa mahasiswa? Karena
mahasiswa memiliki peran utama melaksanakan dalam merekonstruksi bangsa,
mahasiswa juga memiliki tanggung jawab besar dalam mengembalikan stabilitas
perekonomian Indonesia dan juga membawa perubahan terhadap bangsa dan negara. Perubahan
ini bersifat positif karena mengubah sesuatu ke arah lebih baik. Secara
etimologis, mahasiswa adalah siswa yang
di maha-kan manusia,
siswa yang dihargai dan dihormati di lingkungan berbangsa dan negara. Secara
historis, mahasiswa sudah mencatat berbagai sejarah perubahan baik di Indonesia maupun dunia.
Sebelum
membahas tentang pentingnya peran mahasiswa, ada baiknya penulis memaparkan apa
yang dimaksud dari kata “mahasiswa”. Mahasiswa adalah orang yang belajar di
perguruan tinggi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989) . Mahasiswa menurut
Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan insane-insan calon sarjana
yang dalam keterlibatannyadengan perguruan tinggi ( yang makin menyatu dengan
masyarakat), dididik dan di harapkan menjadi calon-clon intelektual. Menurut
Hartono, mahasiswa merupakan masa depan suatu negara, yang memiliki sifat
mutlak memajukan bangsa dan sesuai dengan aplikasi ilmu yg dimiliki serta
menjadikan sesuatu inovasi menjadi acuan pemikiran sehingga mampu bersaing
dengan negara lain sesuai dengan perkembangan zaman.Mahasiswa adalah pelajar
yang sedang menuntut ilmu di suatu perguruan tinggi, membawa nama almamater
kampus mengikuti dinamika akademik dalam setiap periode dengan sistem semester.
Mengingat
pentingnya mahasiswa di dalam masyarakat dan negara, sudah sepantasnya
mahasiswa tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi. Daoed Jusuf (1978)
mengatakan bahwa tanggung jawab esensial mahasiswa adalah membangkitkan
kekuatan penataran individu sebagai dasar yang paling menentukan dari kemampuan
berpikir sintetis. Dengan demikian, bahwa mahasiswa pada hakekatnya adalah manusia
rapat umum akan tetapi manusia penganalisis. Sebagai manusia penganalisis,
mahasiwa bukan hanya sebagai manusia pengejar ijazah tetapi juga sebagai
penghasil ide dan juga gagasan. Mahasiswa seharusnya memberi kontribusi lebih
kepada negara dan juga masyarakat, bukan hanya sekedar mengkritik tetapi juga harus
melakukan kontribusi nyata.
Dalam
era sekarang, peranan mahasiswa mengalami pergeseran tujuan dan nilai. Kini
peranan mahasiswa sudah di
campur adukkan dengan kepentingan lain, bahkan banyak
mahasiswa yang hanya memikirkan studinya tanpa memikirkan kondisi sekitar.
Miris memang, tetapi itulah yang sedang terjadi saat ini. Sebelum membuat
gerakan perubahan, ada baiknya kita kaji lagi pentingnya peranan mahasiswa bagi bangsa dan negara.
Pertama,
mahasiswa sebagai Iron Stock, berarti
mahasiswa yang memiliki ketangguhan idealisme dan berakhlak mulia. Mahasiswa
dibutuhkan untuk mengganti generasi sebelumnya, ibarat besi yang mudah berkarat
maka diperlukan besi baru untuk menggantikan besi yang sebelumnya. Fungsi mahasiswa di sini adalah sebagai besi pengganti,
untuk memnjadi besi pengganti yang tangguh mahasiswa harus memiliki karakter
yang kuat. Kedua, mahasiswa sebagai agen perubahan atau lebih
tepatnya pencetus perubahan. Dengan kondisi negara yang carut marut, hanya
mahasiswa yang diharapkan dapat membawa perubahan bagi bangsa dan negara tanpa
di boncengi
kepentingan lain. Bukan hanya
sekedar berorasi di demo-demo, tetapi harus terjun langsung untuk menciptakan
perubahan. Ketiga, mahasiswa sebagai kontrol sosial. Mahasiswa
yang memiliki gagasan ilmu dituntut untuk menjaga norma dan juga memperbaiki
apa yang salah di masyarakat. Sebagaimana yang kita tahu kondisi moral bangsa
sudah tidak dapat dikatakan benar, masuknya Indonesia ke jajaran negara-negara
yang mempunyai rekor korupsi terbanyak menjadi bukti nyata bobroknya moral
bangsa ini. Untuk itu diperlukan jiwa sosial yang tinggi untuk membela hak-hak rakyat,
dan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik rakyat. Keempat, mahasiswa
sebagai kekuatan moral. Mahasiswa wajib jadi teladan dan memberikan contoh yang
baik bagi masyarakat, hal ini mutlak bagi mahasiswa.
Mengaitkan dengan Tri Dharma Perguruan
Tinggi, pengabdian mahasiswa kepada masyarakat tercantum jelas di visi
perguruan tinggi yang dimuat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dapat
dinyatakan pula bahwa Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah salah satu tanggung
jawab yang harus di topang penuh oleh seluruh mahasiswa. Menurut undang –
undang tentang pendidikan tinggi, pengabdian kepada masyarakat adalah kegiatan
sivitas akademika yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sudah saatnya mahasiswa melakukan perubahan
besar-besaran, baik dalam pola berpikir maupun tindakan. Tidak cukup dengan hanya sadar akan peranannya, tetapi
mahasiswa harus aktif berperan bagi bangsa dan negara. Untuk mengoptimalisasi
perannya, mahasiswa harus melakukan pembentukan karakter. Pembentukan karakter
pada mahasiswa dapat dilakukan di perguruan tinggi, karena perguruan tinggi
merupakan tempat yang paling strategis dalam pembentukan karakter mahasiswa.
Metode pembentukan karakter di perguruan tinggi sudah di galakkan sejak tahun
1780 di The Constitution of the
Commonwealth of Massachusett, konstitusi tertua ini memuat tujuan institusi
pendidikan sebagai institusi publik ini yaitu mendukung dan menanamkan
prinsip-prinsip kemanusiaan, kejujuran, pemurah, membantu orang miskin, kerja
keras dan hemat, kejujuran dan tepat waktu, kebenaran, humor yang baik dan
memiliki afeksi sosial dan perasaan yang halus terhadap semua orang.
Menurut Barber (Creighton, 2009)
pada abad ke-18 dan ke-19, semua institusi pendidikan baik yang sekuler maupun
religius, swasta maupun milik pemerintah bahkan menjadi bagian yang penting dalam membentuk warga negara yang kompeten
dan bertanggung jawab. Hanya saja, sekitar tahun 1940 dan 1950 pendidikan
moral, yang telah menjadi bagian integral dari sekolah publik di masa awal
berdirinya Amerika, mulai mengalami erosi karena pendidik lebih memprioritaskan
pengajaran akademis dibandingkan moral. Hal ini berlanjut pada tahun 1960an dan
1970an ketika pergerakan pendidikan menempatkan domain moral menjadi bagian
dari sejarah (Millon, dalam Creighton 2009). Kebangkitan atau mulai
didengungkannya kembali pendidikan moral terjadi pada awal abad 21 ketika sekolah
kembali kepada misi aslinya yaitu membantu siswa mencapai moral dan
membentuk kebiasaan
baik yang bermanfaat untuk mencapai kesuksesan hidup (Ryan, dalam Creighton 2009). Syukri (2009) menyatakan
dunia perguruan tinggi merupakan tempat
menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa
agar menjadi mahasiswa yang memiliki daya nalar tinggi, analisis tajam dan luas.
Pemerintah Indonesia melalui kebijakan
nasional pembangunan karakter bangsa, menekankan perlunya pendidikan karakter
bagi bangsa dengan beberapa alasan yaitu adanya disorientasi dan belum dihayatinya
nilai-nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan
nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman
disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan
Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025, dalam Siswanto 2011). Dalam
kaitannya dengan pembentukan karakter di perguruan tinggi, Peraturan Pemerintah
no 17 tahun 2010 pasal 84 ayat 2, menyebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki
tujuan membentuk insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur, sehat, berilmu dan cakap, kritis,
kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan berjiwa wirausaha,
serta toleran, peka sosial dan lingkungan, demokratis dan bertanggung jawab. Dari
peraturan pemerintah di atas sudah sangat jelas bahwa pemerintah secara konkrit
mendukung metode pembentukan karakter di perguruan tinggi.
Ada banyak teori tentang pembentukan
karakter, salah satunya adalah teori kode warna manusia yang dicetuskan oleh
Taylor Hartman, Phd. Hartman membagi karakter manusia berdasarkan motifnya.
Motif inilah yang yang membedakan orang satu dengan lainnya. Hartman membaginya
menjadi empat motif utama, yaitu : kekuasaan, keintiman, kesenangan, dan
kedamaian. Dalam bukunya yang berjudul The
Color Code, motif kekuasaan dilambangkan dengan warna merah, keintiman
dengan biru, kedamaian dengan putih, dan kesenangan dengan warna kuning. Stephen
Covey melalui bukunya 7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif, menyimpulkan
bahwa sebenarnya ada tiga teori utama yang mendasarinya, yaitu determinisme
genetis, determinisme psikis, dan determinisme lingkungan. Determinisme genetis
menekankan bahwa seseorang memiliki suatu karakter karena gen, berbeda lagi
dengan determinisme psikis yang menyatakan seseorang memiliki suatu karakter
adalah hasil dari didikan orangtuanya. Senada dengan determinisme psikis,
determinisme lingkungan mengatakan bahwa seseorang memiliki suatu karakter
karena terpengaruh lingkungan sekitar.
Menurut Stephen Covey, kesemua teori
pembentukan karakter tadi didasari oleh hukum Aksi dan Reaksi atau hukum
Stimulus dan Respon, bisa juga disebut sebagai hukum Rangsangan dan Respon. Seseorang
bertindak seperti ini karena ada stimulus atau rangsangan dari luar diri, itulah
faktor yang membentuk jati diri.
Dari teori yang sudah penulis
paparkan sebelumnya, perguruan tinggi harus menjadi lingkungan dan pendidik
yang merangsang mahasiswa untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Maka dari itu
di beberapa universitas diterapkan mata kuliah pembentukan kepribadian, tidak
cukup dengan mata kuliah saja tetapi mahasiwa harus mengikuti organisasi agar
mampu menjadi manusia yang berkarakter kuat. Pencapaian intelektualitas dan
nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman moral dan akhlak yang
bagus. Kemampuan manajerial dan sosial mahasiswa harus disertai dengan
sifat-sifat jujur, ikhlas, orientasi pengabdian, dan rendah hati. Ini ditujukan
agar mahasiswa tak hanya pintar secara intelektual dan sosial, namun juga
memiliki integritas moral yang bagus, serta mempunyai empati dan solidaritas
yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.
Setelah mahasiswa di bentuk
karakternya, maka mahasiswa sudah mampu meningkatkan perannya dan siap
menghadapi globalisasi. Beberapa karakter yang harus mahasiswa miliki untuk
mencapai perannya adalah kepemimpinan, kemandirian, dan tanggung jawab. Ketiga
karakter ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi globalisasi.
Pertama kepemimpinan, banyak
literatur yang menjelaskan mengenai kepemimpinan. Salah satunya adalah sebuah
keputusan yang merupakan hasil proses perubahan karakter atau transformasi
internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar,
melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Day
(2001) membuat perbedaan antara pengembangan kepemimpinan dan pemimpin yang
efektif. Pengembang leadership ciri khasnya difokuskan pada kemampuan dasar
individu dan ketrampilan, dan kemampuan dengan peran-peran leadership secara
formal yang dibutuhkan untuk membentuk model diri yang mempunyai karakter agar
tercipta perkembangan identitas dan sikap yang sehat. Pengembangan kepemimpinan
kemudian membuat individu untuk berpenampilan secara efektif dalam berbagai
peran. Kedua,
kemandirian. Tidak hanya butuh
kepemimpinan tetapi kemandirian juga merupakan aspek penting yang harus mahasiswa miliki,
dengan kemandirian yang dimiliki mahasiswa jadi lebih berani dan juga tangguh. Ketiga,
tanggung jawab. Tanggung jawab adalah menerima segala sesuatu dari sebuah
perbuatan yang salah baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab
berupa perwujudan kesadaran akan kewajiban menerima dan menyelesaikan semua masalah yang telah di lakukan.
Tanggung jawab juga merupakan suatu pengabdian dan pengorbanan.
Ada banyak cara untuk menumbuhkan tanggung jawab pada mahasiwa, salah satunya
melalui tugas dan juga organisasi serta kepanitiaan.
Ketiga
karakter esensial tersebut bergabung menjadi satu kesatuan mahasiswa yang mampu
bersaing di pasar global, jika ketiga karakter ini dimiliki mahasiswa Indonesia
maka sudah dapat di pastikan Indonesia akan menjadi negara yang mampu
berkompetensi di global. Tidak hanya sebagai pemain pelengkap, tetapi Indonesia
dapat menjadi pemain inti di pasar bebas. Tentunya hal ini akan berhasil jika
didukung dengan infrastruktur yang memadai.
Sekarang
tugas mahasiswa adalah membentuk dan menanamkan serta menumbuhkan ketiga
karakter tersebut dan juga karakter pendukung seperti berpikir kritis dan jujur
karena Indonesia butuh bantuan mahasiswa untuk bergerak maju. Mustahil rasanya
bila Indonesia hanya mengandalkan pejabat pemerintahan untuk bergerak maju. Selain
membentuk karakter, mahasiswa harus mengoptimalkan kreatifitas dalam berinovasi
agar mampu bertahan di persaingan dalam globalisasi.
Seperti
yang kita tahu Indonesia pernah gagal dalam globalisasi, kegagalan ini berbuah
penjajahan Belanda selama 350 tahun di nusantara. Hal ini dikarenakan kurangnya
masyarakat berinovasi dan juga kurang kuatnya sistem militer Indonesia pada
saat itu. Masyarakat pada saat itu hanya mengandalkan menjual bahan mentah
tanpa di olah terlebih dahulu, bahkan sampai sekarang pun Indonesia belum mampu
mengolah semua kekayaan sumber daya alam yang ada. Indonesia masih saja menjual
barang mentah, kurangnya inovasi para SDM yang Indonesia miliki menjadi pukulan
telak bagi Indonesia. SDM masih belum mampu mengolah hasil kekayaan bumi
pertiwi karena minimnya teknologi yang ada. Tentu saja Indonesia tidak dapat
mengandalkan bantuan negara asing terus menerus alam hal ini, Indonesia harus
berinovasi dalam membuat teknologi sendiri. Maka dari itu sangat dibutuhkan
peran mahasiswa dalam menghasilkan teknologi baru untuk mengolah sumber daya
alam yang ada, sehingga membuat harga produk yang dijual meningkat berkali
lipat.
Lagi-lagi
inovasi menjadi keharusan yang dimiliki mahasiswa agar mampu bertahan pada era
global saat ini. Untuk menjadi inovatif bukan suatu anugerah yang datang
tiba-tiba, namun memerlukan proses yang panjang. Menurut Jusuf Kalla, ada
beberapa rangkaian yang ditempuh untuk menghasilkan inovasi yaitu berawal dari
ide, kemudian melakukan penelitian baru didapat inovasi. S.D. Darmono
menekankan pentingnya inovasi pada sektor industri. Inovasi penting untuk tetap
dapat berkompetisi dalam era globalisasi pada sektor industri yang memiliki
jenis dan skala usaha yang beragam. Ketika melakukan inovasi, nilai ekonomis
suatu inovasi harus diperhitungkan. Tidak peduli seinovatif apapun suatu produk
atau layanan, apabila tidak diimbangi dengan nilai ekonomis maka inovasi yang
telah dilakukan akan terbuang percuma. Untuk menjadi inovatif dibutuhkan
kekereativitasan mahasiswa.
Kreatif
adalah sebuah kata sifat untuk menggambarkan sesuatu yang dari tidak ada
menjadi ada, dari bahan mentah menjadi bahan jadi, dari sesuatu yang tidak
berbentuk menjadi sesuatu yang indah, atau bahkan dari sesuatu yang tidak
terpikirkan orang menjadi sesuatu yang bermanfaat buat orang. Menurut Robert
Epstein, seorang penulis buku-buku kreativitas, pendidikan formal adalah salah
satu biang keladi pembatas kreativitas manusia sejak dini. Selain itu, masih
kuatnya pandangan negatif orangtua terhadap prospek pekerjaan di industri
kreatif (misalnya film, sastra, atau desain grafis) juga membuat banyak mahasiswa
merasa kemampuan kreatif hanya pantas didalami oleh orang-orang tertentu saja. Padahal,
hal itu tidak benar. Seperti yang ditekankan oleh John Houtz, seorang psikolog,
kreativitas tidak terbatas pada kreativitas besar (big ‘C’) yang sifatnya
mahakarya dan revolusioner, seperti lukisan Da Vinci atau lampu Edison. Ada
pula yang namanya kreativitas kecil (litle ‘c’), yaitu kelihaian atau
kecerdikan yang dapat kita gunakan untuk memecahkan masalah sehari-hari.
Houtz
juga menekankan bahwa kreativitas bukanlah suatu bakat yang dianugerahkan sejak
lahir, melainkan sesuatu yang harus diusahakan dengan kerja keras. Menurutnya,
orang-orang kreatif adalah mereka yang memiliki kedisiplinan untuk terus
menciptakan ide-ide baru dan ketekunan untuk mewujudkan ide-ide mereka. Agar
kreativitas meningkat, individu ditekankan harus rajin mempelajari hal-hal
baru. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca, berdiskusi,
atau bergabung di forum maupun organisasi. Tidak jarang solusi untuk memecahkan
suatu masalah terinspirasi dari hal-hal yang baru dipelajari tersebut.
Ditinjau
dari aspek kehidupan manapun, kebutuhan akan kreatifitas sangatlah penting. Dengan meningkatkan peran dan kreatifitas
serta akhlak dan kebaikan moral maka akan terciptanya individu yang mampu untuk
berinovasi dan bersaing secara global. Jika semua hal ini dikolaborasikan maka
lengkap sudahlah semua aspek yang dibutuhkan mahasiswa untuk menghadapi
globalisasi. Dengan siapnya mahasiswa menghadapi persaingan global, maka siap
pula lah Indonesia terjun ke pasar global. Sebagai Mahasiswa yang di anggap
sebagai calon pemimin bangsa dan sebagai agen perubah, banyak harapan dan saran
yang muncul bagi mahasiswa tersebut. Dan diharapkan mahasiswa dapat membawa
Indonesia tidak terjerumus ke dalam damak negative era globalisasi ini. Maka
dari itu persiapkanlah dirimu sedini mungkin untuk turut serta meramaikan
globalisasi, karena Indonesia butuh peran dan kreatifitas mahasiswa untuk
menghadapi globalisasi. Karena Indonesia butuh kamu untuk menghadapi pasar
global.
Sumber:
Muchlas Samani dan Hariyanto (2011). Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Siswanto, HW. (2011). Pendidikan Karakter: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana Implementasinya di Satuan Pendidikan. Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Balitbang Kemendiknas.
Stiff-William, HR. (2010). Widening Lens toTeach Character Education
Alongside Standart
Curriculum.
Abstract. The Clearing House. Vol 83.no 4.pg 115-120.
Syukri. (2009). Peran Pendidikan di Perguruan Tinggi terhadap Perubahan Perilaku Kaum
Intelektual (sosial-Individu). Jurnal Ilmiah Kreatif.vol 6 no 1, hal 1-15.
Tim Penyusun, (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke 3
cetakan ke 2. Jakarta: Balai Pustaka